Custom Search

Senin, 02 April 2012

Klasifikasi Herba Secara Klinis


Keberadaan tanaman obat (herba) sudah sejak ribuan tahun dikenal di Tanah Air. Beberapa tanaman itu sudah diteliti hingga tahap uji klinis, tetapi lebih banyak yang masih berupa pengetahuan turun-temurun.

Bagian-bagian tanaman yang lazim digunakan sebagai obat herba adalah akar, rimpang, serta simplisia, yakni tanaman yang diiris tipis, baik dalam bentuk segar maupun kering. Ada beberapa teknik mengolah tanaman obat, yakni dengan cara merebus, menyeduh, dan membuatnya sebagai serbuk. Bahan herba yang sebaiknya direbus adalah kelompok herba yang memiliki zat aktif minyak atsiri, yakni herba yang memiliki aroma kuat.

Sementara herba yang berupa dedauan bisa diolah dengan cara dikeringkan, sedangkan buah-buahan, seperti mengkudu, sebaiknya dikonsumsi segar untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Beberapa jenis bunga juga mudah rusak sehingga penanganannya harus hati-hati. Biasanya digunakan teknik seduh, misalnya pada rosella. Herba yang sudah direbus sebaiknya juga tidak dibiarkan terlalu lama karena seperti halnya makanan, tanaman herba juga bisa jadi media pertumbuhan bakteri.

Kendati demikian, saat ini cukup banyak produk herba yang diproduksi modern. Misalnya dibuat tablet, kapsul, atau bubuk. Namun, pada umumnya memiliki senyawa aktif yang relatif sama dengan herba yang diolah tradisional. Yang berbeda mungkin harganya.

Mayoritas tanaman berkhasiat di Indonesia dicampurkan dengan beberapa jenis tanaman agar khasiatnya saling melengkapi. Meski tidak memiliki aturan pakai yang baku, secara umum obat herba aman. Kekurangan sekaligus kelebihan herba adalah efeknya lemah sehingga untuk mengobati ia harus dipakai dalam jangka panjang. Dengan demikian, sebenarnya sangat kecil risikonya seseorang mengalami overdosis karena mengonsumsi herba.

Klasifikasi Herba Secara Klinis

Secara klinis, obat herba bisa diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu: jamu, obat herba terstandar, dan fitofarmaka. Ketiganya memiliki manfaat yang sama bagi kesehatan. Yang membedakan di antara ketiga jenis obat tradisional Indonesia itu adalah data pendukung atas manfaat obat, yaitu berdasarkan data empirik, data preklinik, atau data klinik.

Semua jenis obat itu telah melalui standar penilaian yang dilakukan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sehingga dijamin keamanan, khasiat, serta mutunya. Saat ini tercatat 6 fitofarmaka, 31 obat herbal terstandar, dan ribuan jamu terdaftar di BPOM.

Untuk menjadi obat herbal terstandar, obat tradisional harus memiliki bukti preklinik, yaitu sudah diujicobakan pengaruhnya pada hewan. Untuk menjadi fitofarmaka, harus memiliki bukti preklinik dan bukti klinik, yaitu uji coba pada manusia.

Bukti manfaat jamu didasarkan atas pengalaman masyarakat yang mengonsumsi turun-temurun. Jamu teruji ratusan tahun mampu mempengaruhi dan menjaga kesehatan orang yang meminum. Khasiat jamu tidak perlu bukti uji preklinik dan uji klinik. Walau buktinya bersifat empirik, sudah ada standar penilaiannya. Penilaian itu, antara lain, berupa penerapan cara pembuatan obat tradisional yang baik dan cek terhadap kontaminasi mikroba.

Meski keamanan obat tradisional sudah dijamin, BPOM tetap memantau efek samping obat tradisional yang beredar di pasaran. Sebelum beredar, uji dampak penggunaan obat dilakukan pada responden yang kondisinya hampir sama. Ketika beredar di masyarakat, obat dikonsumsi masyarakat luas dengan kondisi fisik dan tingkat kesehatan yang beragam sehingga pengontrolan efek samping tetap harus dilakukan.

Dari pengawasan rutin yang dilakukan, BPOM masih sering menemukan obat herba yang mengandung bahan kimia obat. Terbatasnya tenaga dan waktu pengawasan membuat peredaran obat herba yang mengandung bahan kimia obat masih terjadi hingga kini. Agar terhindar dari obat tradisional yang tidak aman, konsumen dapat mengecek nomor registrasi produk melalui situs BPOM ataupun menghubungi layanan pengaduan konsumen obat dan makanan di BPOM.

Kendala pengembangan obat herba yang merupakan warisan bangsa adalah masih banyaknya kontradiksi dan keraguan sebagian praktisi kesehatan modern atas manfaatnya. Ini menuntut penelitian berkelanjutan untuk menemukan bukti ilmiah dari manfaat obat herba yang melibatkan berbagai pihak. Proses standardisasi obat herba juga mendesak dilakukan, mulai dari proses penanaman, pemanenan, hingga produk akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar